menuju jurang tak berserabut
Pada malam malam pekat di bulan Februari, kaki ku menapak di atas pelipis bangunan kaca pusat kota. Seharusnya, aku merasakan gejolak bahagia sebab di suguhi surganya langit malam. Tapi temaram itu, rasanya berbeda. Semakin kencang angin, semakin bergelora diriku menuju jurang tak berserabut. Hati ku tenang, tapi kenapa air jernih ini semakin deras membanjiri wajah busuk ku? semakin hina ku di buat oleh rasa ini. Maka berbekal alasan tersebut, ku pijakan kaki ku sedikit lebih maju menuju udara. Dari sini suara gaduh kendaraan terdengar merdu, tidak berisik dan tidak mengganggu, tepat sasaran pada pendengaran ku. Dari sini, aku jauh dari jutaan pasang mata serta ribuan kata kata, kali ini kesendirian ku berbeda. Ku rasa, sudah tidak ada waktu untuk menjelajah pada kenestapaan ini, tak perlu menunggu semua nya berhenti untuk sekedar pamit, sebab aku ini apa di bandingkan semesta dan seisinya? Maka pada langkah terakhir, aku tetap maju, ini kali pertama aku membunuh rasa takut ku. Tern...