Benderang
Wanita itu berteriak, berlari dari ujung jalan menuju persimpangan. Ia terus berlari di samping jembatan dekat sungai. Rambut keriting sebahunya terkibas ke belakang tehalang oleh angin. Bibir lebar yang terbuka terus mengeluarkan suara kelelahan. Kaki yang terus berlari. Wajah nya memerah, mata indahnya berkaca kaca menahan amarah. Suaranya sangat kencang.
Tapi ia bersyukur, karena tak ada yang peduli dengannya di jalan raya itu. Ia bebas berteriak sesuka hatinya. Mengeluarkan kekesalannya. Seakan bercerita pada bising kendaraan, seakan memberi tahu semua orang bahwa ia hanya ingin bebas.
Wanita itu berhenti di persimpamgan. Ia berhenti. Menekuk lututnya, menampung badan rapuhnya dengan tangan kokoh itu. Ia terduduk lemas di persimpangan. Menangis. Ia tak sadar air mata itu keluar dengan cepat seakan memenuhi ruangannya.
Isakkan demi isakkan keluar dengan lepas. Wanita itu tak perlu menahan suaranya seperti biasa, wanita itu tak perlu menggigit keras bibir nya agar tak bersuara, wanita itu tak perlu menutup wajah merahnya agar tak terlihat. Ia mengeluarkan suara yang selama ini dipendam.
Ia menangis sejadi jadinya, sekeras kerasnya. Seperti banyak kata terimakasih keluar dari isakkanya. Persimpangan ini dibuat sepi olehnya. Tangisan demi tangisan terus keluar. Air mata bersimbah di wajahnya. Ia hanya ingin menangis malam itu. Ia ingin bebas. Bebas menjadi manusia.
Bila bisa memilih. Wanita itu tak mau lahir di dunia. Ia lebih memilih berdiam dengan tuhan. Tak apa tak merasakan nikmat dunia. Yang penting dirinya aman dan bahagia diatas sana.
Wanita itu masih terus menangis dengan kencang, setelahnya ia berdiri dengan lemas. Ia berjalan pelan menuju pusat jembatan. Bermodal kelemasan, ia pun sampai di pusat jembatan. Dimana terhampar sungai lebar. Ia berdiri di samping jembatan menghadap sungai.
Wanita itu sudah acak acakan, berdiri menghadap hamparan sungai. Rambut berantakan, baju dan celana yang lusuh. Ia terisak sedikit demi sedikit. Air mata mengalir sedikit demi sedikit. Ia lemas. Semua tenaga seakan terkuras. Seakan hati dan jiwanya telah habis digerogoti kehancuran. Kini hanya raga nya yang tersisa.
Air mata itu mengalir pelan keluar dari kedua mata sayup itu. Bibirnya mengatup lemas. lalu ia mengeluarkan kata kata, seraya berbisik pada tuhan
"Tuhan, aku percaya, rencana mu selalu sempurna." Isakan kecil terdengar, dan ia melanjutkan "aku percaya, kau selalu menjadi harapan segala umat." Air mata terus mengalir "aku percaya engkau ada dihati ku, engkau menemani ku, memberikan segala galanya untuk ku. aku percaya" tangisannya semakin menderu, seakan kesakitan itu terus mencabik. "peluk aku tuhan, peluk aku" tangisan nya semakin menunjukkan kesakitan. ia seakan meminta pelukan dengan seorang ibu. "tarik aku ke dekapan mu tuhan, dunia terlalu gaduh untuk manusia seperti ku. dan engkau, hanyalah sebaik baik acuan dalam hidupku."
Tangisannya meledak, seakan pecah. Dirinya merasa hancur berkeping. Tuhan seakan mengusapnya, hendak mendekap. Satu detik, tangisan itu masih terdengar. Rasa sakit itu masih terasa menyakitkan. Dua detik, tangisan itu memelan. Hingga di detik kesepuluh, tangisan itu hilang. Suara sakit itu lenyap. Diganti dengan suara air yang beradu dengan sebuah bongkahan.
Wanita itu menyerah. Perjalanan terlalu berduri baginya. Tangisan menyakitkan itu telah selesai, telah hilang. Tersisa bulir bulir air dan keberisikkan lalu lalang kendaraan. Suara klakson. Seakan dunia melupakan raga yang kesakitan itu hanya dalam beberapa menit. Raga itu hilang, tapi semua masih terus berjalan dengan lancar. seakan tak pernah ada yang tau, bahwa ada raga yang butuh di dekap dengan erat.
Air pun kembali tenang. Raganya lenyap ditelan kehancuran. Tak tersisa sedikit pun jejak wanita itu. Tangisan nya, isakkannya, ucapannya, hanya itu yang bisa ia keluarkan seraya bercerita kepada semua orang. Hidupnya telah selesai. Tempat itu menjadi saksi bisu bagaimana wanita itu bertahan dari segala kesakitan. Bagaiman wanita itu berteriak meminta harapan nya kembali. Bagaiman wanita itu terduduk lemas karena jiwanya sudah hancur. Bagaimana wanita itu terdiam dan bergumam seakan tuhan ada dihadapannya. Mencurahkan berjuta juta kepedihan dengan beberapa kalimat. Hingga wanita itu terbenam, terbenam yang sejatinya. Terbenam yang tak akan pernah terbit di pelosok manapun.
Comments
Post a Comment